Pemerintah Uraikan 5 Pilar Peta Jalan AI Indonesia
Kementerian Komunikasi dan Digital tengah merumuskan peta jalan untuk AI di Indonesia. Tujuannya adalah untuk menciptakan landasan pengelolaan yang etis, inklusif, dan inovatif bagi Indonesia. Aturannya tidak hanya mencakup aspek teknis, tetapi juga mengutamakan kepentingan publik dan kedaulatan data.
Wakil Menteri Nezar Patria menjelaskan hal ini kepada Tempo dalam wawancara tertulis minggu ini. Dalam tanggapannya, Nezar menjabarkan lima pilar utama peta jalan regulasi AI di Indonesia. “Pertama adalah etika dan akuntabilitas, di mana pemerintah menetapkan standar untuk transparansi algoritma, mitigasi bias, dan audit independen, terutama untuk sistem AI di sektor sensitif seperti kesehatan, keuangan, dan keadilan,” katanya.
Nezar menyebutkan bahwa pilar kedua mengatur pengelolaan data yang mendukung interoperabilitas antara sektor publik dan swasta sekaligus menegakkan perlindungan privasi berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. Pekerja yang terdampak oleh otomatisasi juga tidak dilupakan. Pilar ketiga dari peta jalan regulasi yang sedang dikembangkan adalah program pelatihan ulang, integrasi kurikulum AI/STEM (Sains, Teknologi, Rekayasa, dan Matematika), dan insentif untuk diaspora.
Pilar keempat peta jalan tersebut adalah regulasi inovasi dan komersialisasi. Menurut Nezar, dalam hal ini, pemerintah mendukungnya melalui skema pendanaan khusus untuk startup AI dan regulatory sandbox. “Dan kelima, keamanan nasional, dengan pendekatan khusus untuk mengatasi tantangan seperti deepfake dan disinformasi, terutama menjelang pemilu,” kata Nezar.
Nezar mengungkapkan, peta jalan yang mengadopsi standar global seperti Rekomendasi UNESCO tentang Etika AI 2021 itu akan diformalkan menjadi Peraturan Presiden (Perpres). Targetnya, rampung pada kuartal keempat tahun ini. “Tentunya ini akan melalui dialog publik dan konsultasi multipihak,” imbuhnya.
Nezar mengakui bahwa Kementerian Komunikasi dan Digital juga belajar dari pendekatan Uni Eropa dengan klasifikasi risiko dalam UU AI Uni Eropa, Singapura melalui AI Verify Foundation, dan Tiongkok dengan strategi industrialisasi AI-nya. Namun, ia mengatakan bahwa Indonesia memiliki konteksnya sendiri, seperti pentingnya mempromosikan konten lokal dalam algoritma rekomendasi, dan perlunya memperkuat infrastruktur digital di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).
Menurutnya, tiga isu yang paling mendesak memerlukan pengaturan khusus dalam Peraturan Presiden tentang Peta Jalan AI di Indonesia. Isu-isu tersebut adalah disinformasi generatif, dengan mandat untuk memberi label pada konten yang dihasilkan AI; bias sistemik, terutama pada AI yang digunakan untuk layanan publik; dan ketahanan ekonomi dan kedaulatan data, termasuk jaminan sosial bagi pekerja yang terdampak otomatisasi dan pembatasan kepemilikan asing atas data strategis.
“Pemerintah menyadari bahwa AI bukan sekadar masalah teknologi, tetapi masalah masa depan keadilan sosial, kedaulatan digital, dan keberlanjutan ekonomi Indonesia,” katanya. “Peraturan ini harus berpihak pada rakyat, mendorong inovasi yang beretika, dan tidak menciptakan kesenjangan baru.”